PELANGGARAN HAM ( Hak Asasi Manusia )
Pelanggaran HAM
adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara
baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku (UU No.
26/2000 tentang pengadilan HAM). Sedangkan bentuk pelanggaran HAM ringan selain
dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu.
Kejahatan
genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis dan kelompok agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara
membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang
berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok
yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya,
memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok, dan memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM).
Sementara itu
kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian
dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut tujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa,
perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional,
penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap suatu
kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah
diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional,
penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid.
Pelanggaran
terhadap HAM dapat dilakukan oleh baik aparatur negara maupun bukan aparatur
negara (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Karena itu penindakan terhadap
pelanggaran HAM tidak boleh hanya ditujukan terhadap aparatur negara, tetapi
juga pelanggaran yang dilakukan bukan oleh aparatur negara. Penindakan terhadap
pelanggaran HAM mulai dari penyelidikan, penuntutan, dan persidangan terhadap
pelanggaran yang terjadi harus bersifat non-diskriminatif dan berkeadilan.
Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan
umum.
Contoh-Contoh Kasus Pelanggaran
HAM
1. Terjadinya
penganiayaan pada praja STPDN oleh seniornya dengan dalih pembinaan yang
menyebabkan meninggalnya Klip Muntu pada tahun 2003.
2. Dosen
yang malas masuk kelas atau malas memberikan penjelasan pada suatu mata kuliah
kepada mahasiswa merupakan pelanggaran HAM ringan kepada setiap mahasiswa.
3. Para pedagang yang berjualan di trotoar merupakan
pelanggaran HAM terhadap para pejalan kaki, sehingga menyebabkan para pejalan
kaki berjalan di pinggir jalan sehingga sangat rentan terjadi kecelakaan.
4. Para pedagang tradisioanal yang berdagang di pinggir
jalan merupakan pelanggaran HAM ringan terhadap pengguna jalan sehingga para
pengguna jalan tidak bisa menikmati arus kendaraan yang tertib dan lancar.
5. Orang
tua yang memaksakan kehendaknya agar anaknya masuk pada suatu jurusan tertentu
dalam kuliahnya merupakan pelanggaran HAM terhadap anak, sehingga seorang anak
tidak bisa memilih jurusan yang sesuai dengan minat dan bakatnya.
6. Korupsi
juga merupakan salah satu tindakan pelanggaran HAM. Karena hal ini dapat
merugikan orang
banyak.
1. PELANGGARAN HAM OLEH TNI
umumnya terjadi pada masa
pemerintahan Presiden Suharto, dimana (dikemudian hari berubah menjadi TNI dan
Polri) menjadi alat untuk menopang kekuasaan. Pelanggaran HAM oleh TNI mencapai
puncaknya pada akhir masa pemerintahan Orde Baru, dimana perlawanan rakyat
semakin keras.
2. KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKU
Konflik dan kekerasan yang
terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah berusia 2 tahun 5 bulan; untuk
Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku Tenggara 100% aman dan relatif stabil,
sementara di kawasan Maluku Tengah (Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram dan
Buru) sampai saat ini masih belum aman dan khusus untuk Kota Ambon sangat sulit
diprediksikan, beberapa waktu yang lalu sempat tenang tetapi sekitar 1 bulan
yang lalu sampai sekarang telah terjadi aksi kekerasan lagi dengan modus yang
baru ala ninja/penyusup yang melakukan operasinya di daerah – daerah perbatasan
kawasan Islam dan Kristen (ada indikasi tentara dan masyarakat biasa).
Penyusup masuk ke wilayah
perbatasan dan melakukan pembunuhan serta pembakaran rumah. Saat ini masyarakat
telah membuat sistem pengamanan swadaya untuk wilayah pemukimannya dengan
membuat barikade-barikade dan membuat aturan orang dapat masuk/keluar dibatasi
sampai jam 20.00, suasana kota sampai saat ini
masih tegang, juga masih terdengar suara tembakan atau bom di sekitar kota.
Akibat konflik/kekerasan ini
tercatat 8000 orang tewas, sekitar 4000 orang luka – luka, ribuan rumah,
perkantoran dan pasar dibakar, ratusan sekolah hancur serta terdapat 692.000
jiwa sebagai korban konflik yang sekarang telah menjadi pengungsi di dalam/luar
Maluku.
Masyarakat kini semakin tidak
percaya dengan dengan upaya – upaya penyelesaian konflik yang dilakukan karena
ketidak-seriusan dan tidak konsistennya pemerintah dalam upaya penyelesaian
konflik, ada ketakutan di masyarakat akan diberlakukannya Daerah Operasi
Militer di Ambon dan juga ada pemahaman bahwa umat Islam dan Kristen akan
saling menyerang bila Darurat Sipil dicabut.
Banyak orang sudah putus asa,
bingung dan trauma terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di Ambon ditambah dengan ketidak-jelasan proses penyelesaian
konflik serta ketegangan yang terjadi saat ini.
Komunikasi sosial masyarakat
tidak jalan dengan baik, sehingga perasaan saling curiga antar kawasan terus
ada dan selalu bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang menginginkan konmflik
jalan terus. Perkembangan situasi dan kondisis yang terakhir tidak ada pihak
yang menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi sehingga masyrakat
mencari jawaban sendiri dan membuat antisipasi sendiri.
Wilayah pemukiman di Kota Ambon
sudah terbagi 2 (Islam dan Kristen), masyarakat dalam melakukan aktifitasnya
selalu dilakukan dilakukan dalam kawasannya hal ini terlihat pada aktifitas
ekonomi seperti pasar sekarang dikenal dengan sebutan pasar kaget yaitu pasar
yang muncul mendadak di suatu daerah yang dulunya bukan pasar hal ini sangat
dipengaruhi oleh kebutuhan riil masyarakat; transportasi menggunakan jalur laut
tetapi sekarang sering terjadi penembakan yang mengakibatkan korban luka dan
tewas; serta jalur – jalur distribusi barang ini biasa dilakukan diperbatasan
antara supir Islam dan Kristen tetapi sejak 1 bulan lalu sekarang tidak lagi
juga sekarang sudah ada penguasa – penguasa ekonomi baru pasca konflik.
Pendidikan sangat sulit didapat
oleh anak – anak korban langsung/tidak langsung dari konflik karena banyak
diantara mereka sudah sulit untuk mengakses sekolah, masih dalam keadaan
trauma, program Pendidikan Alternatif Maluku sangat tidak membantu proses
perbaikan mental anak malah menimbulkan masalah baru di tingkat anak (beban
belajar bertambah) selain itu masyarakat membuat penilaian negatif terhadap
aktifitas NGO (PAM dilakukan oleh NGO).
Masyarakat Maluku sangat sulit
mengakses pelayanan kesehatan, dokter dan obat – obatan tidak dapat mencukupi
kebutuhan masyarakat dan harus diperoleh dengan harga yang mahal; puskesmas
yang ada banyak yang tidak berfungsi.
Belum ada media informasi yang
dianggap independent oleh kedua pihak, yang diberitakan oleh media cetak masih
dominan berita untuk kepentingan kawasannya (sesuai lokasi media), ada media
yang selama ini melakukan banyak provokasi tidak pernah ditindak oleh Penguasa
Darurat Sipil Daerah (radio yang selama ini digunakan oleh Laskar Jihad (radio
SPMM/Suara Pembaruan Muslim Maluku).
3. PELANGGARAN HAM ATAS NAMA AGAMA
Kita memiliki banyak sejarah
gelap agamawi, entah itu dari kalangan gereja Protestan maupun gereja Katolik,
entah dari aliran lainnya. Bahwa kadang justru dengan simbol agamawi, kita
melupakan kasih, yaitu kasih yang menjadi ‘atribut’ Tuhan kita Yesus Kristus.
Hal-hal ini dicatat dalam buku sejarah dan beberapa kali kisah-kisah tentang
kekejaman gereja difilmkan. Salah satu contohnya dalam film The Scarlet Letter,
film tentang hyprocricy Gereja Potestan yang ‘menghakimi’ seorang pezinah dan
kelompok-kelompok yang dianggap bidat, adalagi filmThe Magdalene Sisters, juga
film A Song for A Raggy Boy, The Headman, “The Name of the Rose” , dan masih
banyak lainnya. Kini, telah hadir film yang lumayan baru, yang diproduksi oleh
Saul Zaentz dan disutradarai oleh Milos Forman, dua nama ini cukup memberi
jaminan bahwa film yang dibuat mereka selalu bagus yaitu film GOYA’s GOST.
Mungkin saja film GOYA’s GOST ini
akan membuat ‘marah’ sebagian kelompok, namun apa yang dikemukakan oleh Zaentz
dan Forman, sebagaimana kekejaman “Inkuisisi” telah tercatat dalam sejarah
hitam Gereja. Kisah-kisah kekejamannya juga terekam dalam lukisan-lukisan karya
Seniman Spanyol Francisco Goya (1746–1828 ), yang menjadi tokoh sentral dari
film GOYA’s GOST ini.
Kita telah mengenal banyak
sekelompok manusia dengan atribut agama, berlindung dalam lembaga agama, mereka
justru melakukan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) entah itu
Kristen, Islam atau agama apapun. Atas nama ‘agama yang suci’ mereka melakukan
‘pelecehan yang tidak suci’ kepada sesamanya manusia. Akhir abad 20 atau awal
abad 21, akhir-akhir ini kita disuguhi sajian-sajian berita akan kebobrokan
manusia yang beragama melanggar hak asasi manusia, misalnya kelompok Al-Qaeda
dan sejenisnya menteror dengan bom, dan olehnya mungkin sebagian dari kita
telah prejudice menempatkan orang-orang Muslim di sekitar kita sama jahatnya
dengan kelompok ‘Al-Qaeda’. Di sisi lain Amerika Serikat (AS) sebagai ‘polisi
dunia’ sering memakai ‘isu terorisme yang dilakukan Al-Qaeda’ untuk melancarkan
macam-macam agendanya. Invasi AS
ke Iraq,
penyerangan ke Afganistan dan negara-negara lain yang disinyalir ‘ada
terorisnya’. Namun kehadiran pasukan AS dan sekutunya di Iraq tidak berdampak
baik, mungkin pada awalnya terlihat AS dengan sejatanya yang super-canggih
menguasai Iraq dalam sekejap, namun pasukan mereka babak-belur dalam
‘perang-kota’, ini mengingatkan kembali sejarah buruk, dimana mereka juga kalah
dalam perang gerilya di Vietnam. Kegagalan pasukan AS mendapat kecaman dari
dalam negeri, bahkan sekutunya, Inggris misalnya. Tekanan-tekanan ini membuat
PM Inggris Tony Blair memilih mengakhiri karirnya sebelum waktunya baru-baru
ini. Karena ia berada dalam posisi yang sulit : menuruti tuntutan dalam negeri
ataukah menuruti tuan Bush.
Memang kita akui banyak
kebrutalan yang dilakukan oleh para teroris kalangan Islam Fundamentalis,
contoh Bom Bali dan sejenisnya di seluruh dunia. Tapi tidak menutup kemungkinan
Presiden Amerika Serikat, George Bush adalah juga seorang ‘Fundamenalis’ dalam
‘Agama’ yang dianutnya, karena gaya Bush yang sering ‘secara implisit’ terbaca
dimana ia menempakan dirinya sebagai penganut Kristiani yang memerangi
terorisme dari para teroris Muslim Fundamentalis. Tentu saja apa-apa yang
mengandung “fundamentalis” entah itu Islam/ Kristen/ agama yang lain, bermakna
tidak baik.
Sebelumnya, ditengah-tengah ‘isu
anti terorisme (Islam)’, sutradara Inggris, Ridley Scott memproduksi film The
Kingdom of Heaven, barangkali bisa juga digunakan untuk menyindir Presiden Bush
yang sering menggunakan kata“crusades” dalam pidatonya. Film The Kingdom of
Heaven adalah sebuah ‘otokritik’ bagi Kekristenan, dan sajian ‘ironisme’ dari
ajaran Kristus yang penuh kasih. Bahwa perang Salib yang telah terjadi selama 4
abad itu bukanlah suatu kesaksian yang baik, tetapi lebih merupakan sejarah
hitam.
Dibawah ini review dari sebuah
film, tentang kejahatan dibawah payung Agama, bukan berniat melecehkan suatu
Agama/ Aliran tertentu, melainkan sebagai perenungan apakah perlakuan seseorang
melawan/menindas orang lain yang tidak ‘seagama’ itu tujuannya membela Allah?
membela tradisi? membela doktrin, ataukah membela diri sendiri?
4. PELANGGARAN HAM OLEH MANTAN GUBERNUR TIM-TIM
Abilio Jose Osorio Soares, mantan
Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc di
Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi vonis 3 tahun
penjara. Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga
menimbulkan tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar
berdasarkan rasa keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu
keputusan politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari
kambing hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang dapat disimak dari
keputusan pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini.
Pertama, vonis hakim terhadap
terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam Undang-Undang (UU) No 26/2000
tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer) disebutkan bahwa pelaku
pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun sedangkan menurut
pasal 40 (dakwaan subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama dengan
tuntutan jaksa. Padahal Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa
menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio
Soares.
Bagi orang yang awam dalam bidang
hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-ragu dalam mengeluarkan keputusannya.
Sebab alternatifnya adalah apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan
pelanggaran HAM berat hukumannya minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak
terbukti bersalah ia dibebaskan dari segala tuduhan.
Kedua, publik dapat merasakan
suatu perlakuan “diskriminatif” dengan keputusan terhadap terdakwa Abilio
tersebut karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari
anggota TNI dan Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang
dari Jose Ramos Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan
hanya rakyat Timor Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai
aksi kekerasan selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar
1.000 tewas. Horta mengatakan, “Bagi saya bukan fair atau tidaknya keputusan
tersebut. Saya hanya khawatir rakyat Timor Timur yang akan membayar semua dosa
yang dilakukan oleh orang Indonesia”
Upaya Perlindungan HAM Di Indonesia
adalah hak-hak yang dimiliki setiap manusia tanpa memandang perbedaan
ras, wama kulit, gender, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya. HAM
secara hukum dijamin dengan hukum HAM yang melindungi individu-individu atau
kelompok dari tindakan-tindakan yang melanggar kebebasan dasar serta harkat dan
martabat manusia. Hukum HAM satu diantaranya adalah Deklarasi Universal Hak-hak
Asasi Manusia tahun 1948 yang dihasilkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam hal penegakan HAM Pemerintah Indonesia juga memiliki hukum HAM
diantaranya adalah Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Selain itu Pemerintah
juga te1ah meratifikasi beberapa instrumen HAM internasional diantaranya adalah
Konvensi Tentang Hak Politik Kaum Perempuan yang diratifikasi dengan
Undang-undang Nomor 68 Tahun 1958. Ratifikasi adalah ungkapan resmi dari sebuah
Negara untuk tunduk tanpa paksaan atas isi kesepakatan. Tanggal 17 Juli 1998,
dalam Konferensi Diplomatik PBB telah dihasilkan satu langkah penting dalam
penegakan HAM yaitu disetujuinya Statuta Roma, yaitu sebuah perjanjian untuk
membentuk Mahkamah Pidana Intemasional (International Criminal Court) untuk
mengadili tindak kejahatan kemanusiaan dan memutus rantai kekebalan hukum. Dari
148 negara peserta konferensi yang. ikut saat itu sebanyak 120 negara
mendukung, 7 menentang dan 21 abstain. Ada
empat jenis tindak pelanggaran serius yang diatur dalam Statuta Roma, yaitu: 1.
Genosida 2. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan 3. Kejahatan Perang 4. Kejahatan
Agresi Meskipun Mahkamah Pidana Internasional telah terbentuk dan didukung
banyak negara namun Pemerintah Indonesia hingga saat ini belum juga tergerak
untuk meratifikasi Statuta Roma tersebut, padahal Pemerintah Indonesia sampai
saat ini masih dipandang sebagai negara yang lemah dalam penegakan HAM baik
dalam pandangan masyarakat internasional maupun masyarakat Indonesia sendiri.
Banyaknya kasus-kasus pelanggaran HAM berat di tanah air seperti kasus Aceh.
kasus Timor-timur, kasus Trisakti dan sebagainya hingga kini penyelesaiannya
masih belum memuaskan. Hal yang sering dijadikan alasan Pemerintah untuk
menolak Ratifikasi Statuta Roma adalah Mahkamah Pidana Internasional akan
menggerogoti kedaulatan Negara. Padahal Mahkamah Pidana Internasional memiliki
prinsip Komplementaritas, yakni pengadilan intemasional hanyalah sebagai
pelengkap bagi sistem pengadilan nasional apabila pengadilan nasional tidak
mampu atau tidak mau mengadili tersangka. Selain itu apabila Pemerintah Indonesia mau meratifikasi Statuta Roma secara
politis akan menguntungkan Indonesia
karena Indonesia
terlihat cukup serius dalam menyelesaikan masalah pelanggaran HAM. Pada akhimya
kepercayaan dunia intemasional terhadap peradilan di Indonesia juga akan pulih.
Pemajuan dan perlindungan HAM telah menjadi salah satu program pemerintah
sejalan dengan proses reformasi dan pemantapan kehidupan berdemokrasi yang
sedang berlangsung. Bangsa Indonesia melalui wakil-wakilnya di MPR telah
mengambil suatu sikap yang lebih tegas dalam rangka pemajuan dan perlindungan
HAM dengan mengesahkan ketetapan No.XVII/MPR/1998 mengenai HAM yang memuat
Piagam HAM, diikuti dengan perubahan kedua UUD 1945 yang memasukkan pasal-pasal
yang secara rinci dan tegas mengatur tentang pemajuan dan perlindungan HAM.
Untuk lebih melindungi clan memajukan HAM, Pemerintah telah mengesahkan Undang
Undang HAM No.39 tahun 1999 dan Undang-Undang No.26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM.
Upaya penanganan pelanggaran HAM di Indonesia yang bersifat berat, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan HAM, sedangkan untuk kasus
pelanggaran HAM yang biasa diselesaikan melalui pengadilan umum.Beberapa upaya
yang dapat dilakukan oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari untuk
menghargai dan menegakkan HAM antara lain dapat dilakukan melalui perilaku
sebagai berikut
- Mematuhi instrumen-instrumen HAM yang telah ditetapkan.
- Melaksanakan hak asasi yang dimiliki dengan penuh tanggung jawab.
- Memahami bahwa selain memiliki hak asasi, setiap orang juga memiliki kewajiban asasi yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
- Tidak semena-mena terhadap orang lain.
- Menghormati hak-hak orang lain.
- Mendirikan badan KOMNAS HAM untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM.
- Mengadili orang-orang yang melakukan pelanggaran HAM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar